Artikel Kesehatan
Anemia Defisiensi Besi: Masalah Kesehatan pada Remaja yang Harus Dicegah
Januari 15, 2021
0

Oleh : Made Ayu Mas Anggarani

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sering dijumpai di dunia, terutama di negara berkembang. Anemia yaitu suatu keadaan rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb) akibat dari produksi sel darah merah dan Hb yang berkurang, sehingga menyebabkan kehilangan darah secara berlebihan. Salah satu anemia yang sering terjadi di dunia yaitu anemia defisiensi besi (Lestari, 2017). Penyakit ini dapat dialami oleh seseorang pada semua siklus kehidupan baik balita, remaja, dewasa, ibu hamil, dan menyusui, serta lanjut usia.

Anemia memiliki dampak yang besar terhadap kesehatan. Terdapat lebih dari 30% penduduk di dunia atau sekitar 1,5 miliar orang menderita anemia. Secara global, prevalensi anemia mencapai 51% (Alwi dkk, 2014). Berdasarkan data Riskesdas (2013), prevalensi anemia di Indonesia mencapai 21,7% dengan proporsi kejadian anemia lebih didominasi oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Prevalensi anemia tersebut termasuk dalam kategori masalah kesehatan masyarakat sedang, sehingga memerlukan perhatian khusus. Salah satu daerah dengan prevalensi anemia tinggi juga terdapat di Bali khususnya Denpasar, dengan prevalensi anemia pada remaja putri sebesar 49,5% (Sriningrat dkk, 2019). Adapun 50%-80% anemia di dunia disebabkan karena kekurangan zat besi (Milman, 2011).

Zat besi (Fe) merupakan zat gizi mikro yang sangat diperlukan oleh tubuh dan memiliki peranan penting dalam pembentukan hemoglobin atau membentuk sel darah merah. Apabila asupan zat besi yang diperoleh dari makanan kurang, maka akan berdampak pada kadar hemoglobin yang menurun (Sriningrat dkk, 2019). Umumnya zat besi dapat berasal dari sumber pangan nabati seperti kacang-kacangan dan sayuran, serta berasal dari sumber pangan hewani seperti telur, daging, dan ikan (Lestari, 2017). Salah satu kelompok umur yang sangat berisiko terhadap anemia defisiensi besi yaitu remaja.

Masa remaja merupakan masa individu tumbuh dan berkembang, serta menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya. Remaja putri memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena anemia dibandingkan remaja putra. Hal ini dapat terjadi karena setiap bulannya remaja putri mengalami menstruasi selama lebih dari lima hari. Remaja putri yang mengalami menstruasi, akan membutuhkan lebih banyak besi untuk menggantikan kehilangan besi akibat menstruasi tersebut. Selain itu, remaja putri lebih memiliki keinginan untuk menjaga penampilan, sehingga melakukan diet atau mengurangi makan. Apabila diet yang dilakukan tidak seimbang, maka dapat menyebabkan kurangnya zat gizi penting yang masuk ke dalam tubuh seperti zat besi.  Faktor-aktor determinan lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya anemia pada remaja putri yaitu tingkat pengetahuan gizi yang kurang, pola konsumsi yang buruk, kondisi sosial ekonomi yang rendah, status kesehatan, serta aktifitas fisik yang kurang (Jaelani dkk, 2017).

Anemia pada remaja putri akan berdampak kedepan terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang lambat, aktivitas sehari-hari, daya tahan terhadap penyakit infeksi yang rendah, mudah lemas dan lapar, berpengaruh terhadap kecerdasan dan konsentrasi, serta menurunnya daya tangkap pada remaja. Selain itu, anemia juga dapat menjadi faktor pemicu tingginya tingkat kematian ibu, tingginya insiden berat bayi lahir rendah, dan kematian prenatal yang tinggi. Seseorang yang mengalami anemia akan mengalami tanda-tanda 5L, yaitu lemah, letih, lesu, lelah, dan lalai. Disamping itu, terdapat pula keluhan seperti pusing, mata berkunang-kunang, pucat pada bagian bibir, mata, lidah, kulit, dan telapak tangan (Wibowo dkk, 2013).

Anemia perlu dicegah dan ditanggulangi sejak dini agar tercapai masyarakat yang sehat. Adapun upacaya penanggulangan dan pencegahan anemia yang dapat dilakukan yaitu:

  1. Melakukan penyuluhan mengenai gizi kepada masyarakat agar mampu meningkatkan konsumsi zat besi dari sumber alami.
  2. Melakukan suplementasi besi folat secara rutin kepada penderita anemia dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kadar hemoglobin (Hb) secara cepat.
  3. Melakukan fortifikasi bahan makanan, yaitu menambahkan mikronutrien penting ke dalam makanan sehingga dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari makanan dan dapat bermanfaat bagi kesehatan. Mikronutrien yang ditambahkan seperti besi, asam folat vitamin A dan asam amino.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alwi I, Sudoyo AW, Setiyohadi B. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2014. hlm.2589-99.

Jaelani, M., Simanjuntak, B. Y., dan Yuliantini, E. 2017. Faktor Risiko yang Berhbungan dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri. Jurnal Kesehatan 8(3): 358-368.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. http://www.depkes.go.id (Diakses 20 Februari 2017).

Lestari, I.P., Lipoeto, N.I., dan Almurdi. 2017. Hubungan Konsumsi Zat Besi dengan Kejadian Anemia pada Murid SMP Negeri 27 Padang. Jurnal Kesehatan Andalas 6(3): 507-5011.

Milman, N., 2011. Anemia-Still a Major Health Problem in Many Parts of the World! Review     Article. Ann Hematol, 90:369–377.

Sriningrat, I.G.A.A., Yuliyatni, P.C.D., dan Ani, L.S. 2019. Prevalensi Anemia Pada Remaja Putri di Kota Denpasar. E Jurnal Medika 8(2):1-6.

Wibowo, C. D. T., Notoatmojo, H., dan Rohmani, A. 2013. Hubungan antara Status Gizi dengan Anemia pada Remaja Putri di Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 3 Semarang. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah 1(2): 1-5.