Artikel Kesehatan
PENTINGNYA PENGETAHUAN DAN PROTEKSI DIRI RADIOGRAFER RUMAH SAKIT
November 20, 2019
0

Oleh: I Gede Suka Merta

Pemanfaatan bahan-bahan kimia dengan radiasi tinggi dan berdampak pada lingkungan serta makhluk yang terpapar harus disertai pengawasan ketat dan alat proteksi yang memadai untuk meminimalisir dampak yang mungkin terjadi. Berdasarkan peraturan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapetan), terdapat ketentuan umum dalam manajemen proteksi radiasi yang dituangkan dalam bentuk upaya dan tindakan proteksi sebagai persyaratan yang harus dilakukan di seluruh instalasi berkaitan pemanfaatan nuklir. Persyaratan tersebut memuat enam upaya dan tindakan meliputi pembagian daerah kerja, pemantauan pajanan daerah kerja dan radioaktivitas lingkungan, pemantauan dosis pekerja, pemantauan kesehatan pekerja radiasi, penerapan penghambat dosis, dan tingkat rujukan diagnostik. Keenam hal ini harus diperhatikan untuk menunjang proteksi setiap pekerja yang berpotensi terpapar radiasi nuklir (Hiswara, 2015).

Berdasarkan definisi yang termuat dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 8 Tahun 2011, radiografer termasuk kedalam tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi untuk menjalankan kegiatan radiologi diagnostik dan intervensional sehingga diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab penuh dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Melalui usaha dalam bidang radiografi dan pencitraan terhadap suatu kondisi kesehatan, maka radiografer memiliki peran untuk meningkatkan pelayanan kesehatan (Finzia dan Ichwanisa, 2017).

Melihat aspek perilaku yang dilakukan radiografer di rumah sakit masih menunjukkan perilaku yang tidak aman oleh beberapa individu radiografer. Mengutip hasil penelitian Evelyin dan Siswanto (2017) terkait “Analisis Perilaku Kerja Radiografer di Rumah Sakit Tipe B Jakarta Pusat Tahun 2017” menunjukkan bahwa radiografer dengan perilaku tidak aman berjumlah lebih tinggi yakni 57,5% dibandingkan dengan radiografer dengan perilaku aman yang hanya 42,5% dari jumlah total 40 radiografer. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diasumsikan bahwa peningkatan perilaku aman perlu dilakukan untuk meminimalisir dampak yang berpotensi terjadi pada radiografer.

Pengetahuan radiografer untuk peningkatan kualitas keamanan terhadap paparan radiasi nuklir di rumah sakit memiliki peranan penting dalam upaya dan tindakan proteksi diri. Hal ini didukung oleh penelitian Finzia dan Ichwanisa (2017) menyebutkan bahwa pengetahuan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, penggunaan alat proteksi diri, dan potensi kontaminasi terhadap pasien menjadi bagian penting sebagai kompetensi radiografer rumah sakit. Berdasarkan pemerataan pengetahuan yang dimiliki radiografer, pemahaman terhadap perilaku aman sesuai kaidah kesehatan dan keselamatan kerja penting untuk diperhatikan setiap pengawas radiografer dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Tinggi dan rendahnya pengetahuan radiografer memiliki kecenderungan diakibatkan oleh kurangnya pelatihan terhadap perilaku aman dan penggunaan alat proteksi sehingga perilaku tidak aman radiografer masih dapat ditemukan dalam beberapa institusi rumah sakit (Evelyin dan Siswanto, 2017).

Paparan terhadap sinar radiasi memiliki dampak terhadap kesehatan manusia, khususnya pekerja dalam bidang radionolgi. Dampak kesehatan ini muncul dari tingkat molekuler sampai menunjukkan gejala klinis tertentu. Kemunculan gejala klinis sangat dipengaruhi oleh dosis paparan sinar radiasi dan laju penerimaan paparan. Terdapat tiga dampak paparan raadiasi, meliputi sebagai berikut (Hiswara, 2015) :

  1. Dampak Deterministik

Berdasarkan penelitian Mayerni dkk. (2013) terkait dampak radiasi terhadap pekerja radiasi di rumah sakit, dampak deterministik terjadi karena kematian sel pada daerah yang terpajan radiasi baik itu sekujur maupun daerah lokal tubuh. Kematian sel ini diakibatkan oleh tubuh menerima kelebihan dosis paparan radiasi yang melewati nilai ambang dosis. Efek ini akan semakin meningkat keparahannya apabila menerima dosis yang terlalu tinggi dalam jangka waktu panjang. Dampak deterministik dapat mengakibatkan kerusakan pada mata, kulit, paru-paru, organ reproduksi, kelenjar tiroid, dan janin. Kerusakan pada organ-organ tersebut sangat dipengaruhi oleh lama waktu dan dosis paparan radiasi dengan manifestasi gejala klinis muncul pada kurun waktu yang berbeda-beda.

  1. Dampak Stokastik

Dampak stomastik muncul karena terjadinya paparan radiasi yang berkelanjutan dan tidak memandang dosis radiasi dengan selalu adanya peluang untuk terjadinya perubahan pada sistem biologis baik tingkat molekuler maupun sel. Apabila terjadi pada sel somatis, efek stokastik berpeluang menyebabkan suatu sel berkembang menjadi sel kanker ditambah dengan bahan toksik lain. Selain itu, potensi perubahan susunan genetika yang terjadi akan diwariskan kepada keturunan yang terpapar sebagai efek genetis radiasi (Mayerni dkk., 2013).

  1. Dampak Sindroma Radiasi Akut (SRA)

Sindroma radiasi akut merupakan dampak terparah bagi penerima paparan sinar radiasi dengan dosis sangat tinggi mencapai 1 Gy atau lebih dalam beberapa waktu. Terjadinya kerusakan fatal pada beberapa organ tubuh dapat merusak sistem tubuh dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Terdapat tiga fase terjadinya SRA yaitu fase inisial, fase laten, dan fase SRA. Fase inisial ditandai dengan gejala umum seperti mual, muntah, dan pusing. Fase laten terjadi tanpa terjadinya gejala khusus pada pasien setelah fase inisial. Dan fase SRA muncul ditandai dengan kerusakan sistem pembentukan darah, sistem pencernaan, dan  sistem saraf pusat dengan potensi pasien meninggal sangat tinggi (Hiswara, 2015).

Alat proteksi diri merupakan prosedur wajib yang harus digunakan oleh radiografer dalam menjalankan tugasnya sesuai SOP (standar operasional prosedur) yang berlaku. Tujuan penggunaan alat proteksi diri adalah untuk melindungi pekerja dari paparan dosis radiasi berlebih dan tetap pada ambang batas normal. Alat proteksi diri radiografer meliputi apron, pelindung tiroid, pelindung gonad, sarung tangan, kaca mata, dan tirai pembatas. Alat proteksi diri ini memiliki standar khusus yang terbuat dari bahan setara 0,2-1 mm Pb (Hiswara, 2015).

Menyesuaikan dengan Buku Pintar Proteksi dan Keselamatan Radiasi di Rumah Sakit, Hiswara (2015), penggunaan alat pemantau dosis radiasi perorangan turut menjadi bagian dari SOP radiografer bekerja dan harus diperhatikan penggunaannya untuk mengetahui dosis radiasi yang diterima radiografer. Terdapat dua jenis alat pemantau dosis radiasi, meliputi sebagai berikut :

  1. Dosimeter Perorangan Pasif

Dosimeter ini digunakan selama beberapa saat untuk menentukan dosis radiasi pada pekerja dan kemudian akan dievaluasi untuk mengetahui besaran dosis radiasi yang terpapar. Adapun contoh dosimeter ini, antara lain : dosimeter film, dosimeter termoluminesensi (TLD), dan dosimeter gelas RPL.

  1. Dosimeter Perorangan Aktif

Dosimeter ini bekerja secara digital dan dapat diketahui dosis radiasi setelah penggunaan secara langsung. Adapun contoh jenis dosimeter ini adalah dosimeter elektronik personil (EPD).

Berdasarkan pengetahuan terhadap dampak yang berpotensi terjadi pada radiografer dalam melaksanakan tugas, diperlukan upaya proteksi diri untuk meminimalisir potensi negatif di kemudian hari. Ketaatan pada SOP yang belaku wajib diperhatikan setiap radiografer untuk menunjang kesehatan dan keselamatan kerja terhadap risiko pekerjaan radiografi. Upaya minimalisir dampak kesehatan akan berjalan dengan baik bila koherensi perilaku aman radiografer dan pemantauan pihak rumah sakit berjalan baik. Dengan demikian, aspek kesehatan dan keselamatn kerja dalam dunia radiografi dapat ditingkatkan secara berkesinambungan.

Daftar Pustaka

Evelyin, B. dan Siswanto, H. 2018. Analisis Perilaku Kerja Radiografer. Jurnal Kesehatan Masyarakat, II(1): 78-88.

Finzia, P.Z. dan Ichwnisa, N. 2017. Gambaran Pengetahuan Radio Grafer tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Instalasi Radiologi RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Jurnal Aceh Medika, I(2): 67-73.

Hiswara, E. 2015. Buku Pintar Proteksi dan Keselamatan Radiasi di Rumah Sakit. Edisi pertama. Jakarta : BATAN Press.

Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 11 Tahun 2011 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Intervensional. Badan Pengawas Tenaga Nuklir.

Mayerni, Ahmad, A., dan  Abidin, Z. 2013. Dampak Radiasi terhadap Kesehatan Pekerja Radiasi di RSUD Arifin Achmad, RS Santa Maria, dan RS Awal Bros Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan, VII(1): 114-127.